HASIL KAJIAN BRIN TENTANG PENGHITUNGAN TOTAL BALANCE SAWIT SEBAGAI PENYERAP KARBON DALAM RANTAI SAWIT DARI HULU-HILIR

Penulis : Annisa Aulia, Muhammad Khidir Baasith, Muhammad Rayyan Alif Putra, Q’nan Riandini,
(PKL SMK Pembangunan Jaya YAKAPI di GPPI) Juli 2023.

Dalam FGD yang diselenggarakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional (LEMHANAS) Republik Indonesia pada hari/tanggal Senin
24 Juli 2023 di LEMHANAS. Selanjutnya dalam kesempatan ini menurut Ibu Dr. Ir. Delima Hasri Azahari, MS. Peneliti Utama Badan Riset Dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam presentasinya dengan judul, SAWIT SEBAGAI PENYERAP KARBON UNTUK MEMBANTU PENCAPAIAN TARGET NATIONALLY DETERMINE CONTRIBUTION (NDC) dan MENDUKUNG REGENERATIVE
AGRICULTURE menurut Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator Perekonomian Ibu Dr. Musdalifah Mahmud menyebutkan bahwa perkebunan kelapa sawit kini mencapai 16,38 juta hektar. Dari luas itu, perkebunan kelapa sawit mampu menyerap 2,2 miliar ton emisi setara CO2 setiap tahun, Serapan karbon kelapa sawit itu hampir setara produksi emisi Indonesia tanpa mitigasi sebesar 2,87 miliar ton setara CO2 pada 2030. Artinya, cukup dengan perkebunan kelapa sawit, Indonesia tak perlu menunggu hingga 2060 untuk mencapai net zero emissions atau nol-emisi bersih seperti target dalam nationally determined contributions. Program biodiesel B30, juga mereduksi atau menghindarkan emisi karbon sebanyak 29,5 juta ton setara CO2 pada 2022. B30 merupakan bagian dari kebijakan energi nasional untuk mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025.

Hal tersebut sejalan dengan kajian Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University yang
bekerja sama dengan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, yang menyebutkan kelapa sawit memiliki kemampuan menyerap emisi kabon yang cukup tinggi dan paling efisien bandingkan dengan tanaman komoditas kehutanan, seperti akasia, pinus, albizia, casuarina, dan ekaliptus yang termasuk jenis berdaun jarum atau jenis
berdaun tidak lebar. Laju penyerapan karbon dioksida di atmosfer dapat diketahui dari nilai NPP. Ukuran yang
digunakan dalam penyerapan CO2 adalah komponen-komponen neraca karbon seperti net primary production atau nilai bersih penyerapan karbon, respirasi tanah autotrofik dan heterotrofik, kontribusi serasah dan nekromassa. NPP rata- rata kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan tanaman lainnya , bahkan lebih besar dari vegetasi hutan meskipun tidak berbeda signifikan.Isu lingkungan agribisnis sawit sering dikaitkan kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca . Emisi GRK agribisnis sawit di antaranya akibat dari alih fungsi lahan terutama pada lahan gambut, limbah cair pabrik kelapa sawit , dan kegiatan antropogenik lainnya. Pada awal tahun 2012, mencuat isu produk CPO Indonesia yang tidak ramah lingkungan yaitu sejak EPA mengeluarkan kebijakan NoDA bahwa pengurangan emisi GRK produk CPO Indonesia hanya 11-17 persen. Sementara standar pengurangan emisi GRK minimal 20 persen sesuai dengan standar energi terbarukan.

Namun perkebunan kelapa sawit juga menjadi salah satu sumber penyerap emisi CO2 sebesar 64.5 ton CO2/ha/tahun . Pada dasarnya beberapa agribisnis sawit di Indonesia telah memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Berdasarkan penilaian PROPER 2012, industri sawit merupakan peserta yang paling banyak atau sebesar 186 peserta dari keseluruhan 1317 peserta PROPER. Terdapat 129 perusahaan tergolong peringkat hijau dan biru yang berarti kinerja pengelolaan lingkungan telah sesuai persyaratan dan regulasi yang berlaku , bahkan telah beyond compliance dan melaksanakan CSR dengan baik . Oleh karena itu ada kemungkinan pada umumnya industri sawit telah menerapkan sistem pengelolaan lingkungan yang baik, namun belum secara eksplisit menungkap data pengurangan emisi CO2. Sampai saat ini belum banyak publikasi kajian dari pihak independen tentang pengurangan emisi GRK agribisnis sawit dalam skala unit bisnis.

Emisi CO2 yang dihasilkan dari agribisnis sawit harus diimbangi dengan besarnya penyerapan CO2 dan kemampuan mereduksi emisi CO2. Sumber penyerap karbon dari sawit diiantaranya berasal dari : perkebunan kelapa sawit itu sendiri, daya serap 64.5 ton CO2/ha/tahun hutan konservasi yang dikembangkan perusahaan, daya serap 42.5 ton CO2/ha/tahun kegiatan CSR berupa penanaman pohon mahoni, daya serap 295.73 kg CO2/pokok/tahun
Berdasarkan hasil riset dari GAPKI kepada 12 perkebunan berikut ini menunjukkan 10 perkebungan menghasilkan saving emisi dan 2 perkebungan yang mengemisi karbon.

Perbandingan Kandungan Karbon Saat ini dengan Saat Sebelum Konversi

Berdasarkan beberapa hasil studi serapan karbon yang terjadi saat kelapa sawit pada umur 8-10 tahun berkisar antara 5-9.7 tC/ha/tahun. Jika diasumsikan luasan kebun sebesar 10.000 Ha maka jumlah serapan karbon sebesar 355,408ton CO2 ekuivalen per tahun.

Namun tidak semua narasi positif mendukung terkait sawit sebagai penyerap karbon, Salah satu yang kontra dengan hal ini adalah dari Pantau Gambut, Menurut Pantau Gambut, klaim ini berbahaya karena berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem hutan, khususnya gambut. Hal ini karena metana yang dilepaskan saat area konsesi di lahan gambut terbakar lebih berbahaya 21 kali lipat dibanding CO2 Kajian terbaru yang dilakukan Pantau Gambut melalui pantauan satelit di tiga provinsi pun menemukan kemunculan beberapa pola tanam baru pada area bekas terbakar yang berada di radius 1 km di luar area konsesi perkebunan sawit. Tandanya, tren pembukaan lahan gambut dengan cara dibakar masih menjadi cara yang populer dilakukan oleh pemilik konsesi meskipun sertifikasi seperti ISPO mulai menjamur digunakan. Perlu diingat, lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaton karbon atau sekitar 30% karbon dunia. Cadangan karbon yang tersimpan di dalam tanah gambut akan terlepas ke udara jika lahan gambut dikeringkan atau dialihfungsikan dan berpotensi menyumbang 63% total emisi karbon dunia.

Regenerative Agriculture dan Praktinya untuk Perkebunan Sawit

Sektor pertanian merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca. Di balik kegiatan produksi bahan pangan dan bahan baku industri yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, ternyata aktivitas ini turut berkontribusi besar terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu, usaha untuk menggalakkan kegiatan pertanian yang lebih ramah lingkungan sangat penting. Salah satu konsep pertanian yang patut dicoba untuk memerangi perubahan iklim adalah pertanian regeneratif .

Regenerative agriculture atau pertanian regeneratif adalah pertanian yang berprinsip meningkatkan kualitas lahan pertanian dengan rehabilitasi dan revitalisasi seluruh ekosistem, seperti tanah dan air. Praktik pertanian ini menitikberatkan kepada manajemen air, penggunaan pupuk, dan mempertahankan keragaman biologis untuk menciptakan lahan pertanian yang sehat. Dengan meningkatkan kesehatan tanah, kadar karbon dan biomassa tanaman yang ditangkap akan lebih banyak, kualitas produk pertanian meningkat, dan harga jual bertambah. Sebagai contoh, regenerative agriculture bisa diterapkan pada pertanian lahan kering dan peternakan sapi.

Manfaat Regenerative Agriculture terhadap Ekologi

Praktik pertanian ini berkontribusi pada pengurangan limbah, penyerapan karbon, hingga peningkatan kesuburan tanah secara organik. Penggunaan lahan yang sehat juga mengurangi risiko gagal panen karena mengurangi gangguan pada tanah.
Petani bisa mendapatkan pangsa pasar premium jika mendapatkan sertifikasi, seperti (organic), sehingga bisa meningkatkan harga jual. Selain itu, upaya pengelolaan konservasi juga bisa menekan biaya produksi.

Manfaat Regenerative Agriculture secara Sosial

Meningkatnya kualitas tanaman tidak hanya membuat petani lebih berdaya, tapi juga bermanfaat kepada masyarakat secara keseluruhan. Sebab, ekosistem pertanian yang sehat menciptakan lingkungan yang sehat pula.

Kelapa sawit adalah tanaman tahunan karena umur produktif kelapa sawit adalah sekitar 20-25 tahun, berbeda dengan tanaman setahun yang ditanam kembali setiap tahun. Tanaman tahunan seperti kelapa sawit sangat cocok untuk praktik regeneratif, dan beberapa prinsip sudah umum diterapkan, sementara beberapa praktik regeneratif kurang relevan. Misalnya, rotasi tanaman untuk mencegah degradasi lapisan tanah atas lebih dapat diterapkan pada tanaman setahun. Sistem akar tanaman tahunan yang ekstensif memungkinkan mereka untuk menyimpan karbon lebih efektif dan meningkatkan kapasitas menahan air dan infiltrasi, retensi nutrisi, dan mengurangi erosi tanah . Terdapat beberapa potensi pengembangan agar sawit dapat menjalankan prakik regenerative:

Kajian ini dilakukan untuk memberikan masukan strategi agar sawit dapat mendukung untuk penurunan karbon nasional pencapaian target penurunan emisi di tahun 2030 khususnya untuk sektor perkebunan dan mendukung regenerative agriculture yang saat ini sedang menjadi trend di dunia dalam pertumbuhan yang berkelanjutan. (GPPI 2023)